Puisi-puisi Yuka Fainka Putra

Potret

Ah, mimosa pudica, fokus yang terbelah.
Terbekukan di pagi.

Percayalah, embun-embun yang ada di ujung daun telah melewati senyap yang panjang.
Di intimnya gelap, ia telah memilih cara untuk rehat.
Sekian rindu yang lewat, hanya sempat menertawai diri sendiri.
Sejauh melangkah, sejauh memilih : toh hanya berani menyublim di depan laut. Lari sejauh lamun.
Ah, mimosa pudica, fokus yang terbelah.
Tak tahukah kau semua hanya bagaimana cara memilih.

Sayangnya, kita terlalu terlibat dengan perasaan.
Logika sering terpinggirkan.
Padahal aku menginginkan dengan tegas sebuah cinta yang memerdekakan, susahnya ini seperti impian utopis, “mana ada yang mau melogikakan rasa”.
Di batas normatif, orang-orang terbiasa, mendongengkan khayalan mereka, menganggap itu benar-benar ada.

Ah, mimosa pudica, fokus yang terbelah.
Sejauh lari, sejauh aku dikejarnya.

Painan, Juni 2009

Malam-Malam di Halaman Pantai

Izinkan aku bercerita tentang sesiapa yang berkumpul dimalam, kala ombak pacu berpacu diingatan. Tidakkah kau mau mencatatkan kisah desau angin, saat bagan-bagan dengan lampu terang benderang : menusuk semua hitungan, membalikkan semua tafsir dan menghempaskan apa yang dianggap kepatutan.

Kenapa orang-orang itu berkumpul?, mengapa juga mereka bergigil di halaman pantai, waktu malam?. Aku menemukan jawabannya saat aku bersama mereka, menyusuri lekuk karang, mengintepretasi ayat-ayat ombak, telentang di pasir: biduak bacadik adalah rumah, tanah pantai adalah halaman, dan malam adalah ruang dimana semua wajah selalu samar, yang ada hanyalah laku tindak.

Orang-orang yang berkumpul, hantu adalah diri mereka, menciptakan takut sendiri. Di malam hadir melempar pukek, menjaring kata, memetakan kognitif, memuai di halaman pantai, aduk-mengaduk kenyatan. Ditiap batang rokok, dinyanyikan lagi kegelisahan: “darah kami, buih yang menjalar dinadi, memompa suara, kadang deras kadang malah kering, mempercayai sejarah: membunuh diri sendiri”. Sesiapa yang datang kemalam, maka ia yang akan mendiskusikan pagi.

Sungguh, tak pernah aku sampai kepemahaman secara holistik di pantai kala malam. Di tiap halaman yang tertoreh hanyalah penggalan-penggalan yang tak pernah menyeluruh. Setiap kata yang kugores, setiap inci tubuhku terkikis.

Painan, Juni 2009

Laku Ingatan

Kenangan adalah ingatan,
hadir ditiap lipatan,
justru itu saat berjumpa sapalah dia,
sesedarhana malam mengelus renungan.
Tak lari, tak menepi.

Painan, Januari 2009

Di Samping Bayang-Bayang

Di samping bayang-bayang,
ruh melayang. Angin berdendang.
Kupu-kupu lalu lalang.
Aku berangkat kelehermu,
mengantarkan perintah perang.
Namun nada-nada berdendang, liar lidah meliuk tegang.

Siapa yang menyuruhmu tetap berdiri di samping bayang-bayang?
Genderang perang telah didendang.
Gaduh di atas bukit, lari berlari. Tari menari.
Aku tegak berdiri, di pintu rindu. Sunyi itu waktu.

Di samping bayang-bayang ada goa,
di dalamnya cuaca bersembunyi.
Teruslah ke kiri, di ujung patahan pertama
mengantarkanmu pada pulang.
Sampai juga di ujung petang.

Rumah kita tepat disamping bayang-bayang.
Painan, November 2008

Layang-layang

Di sebuah belahan langit yang biru.
Mengapung tubuh, mengabarkan salam.
Di kedalam udara, ia menceritakan kisah, menyapa burung,
menatap daratan, ada lanskap yang berciuman,
menepi perahu, peluru kejar berkejar.
Dahaga. Selonjor tubuh bernama manusia menahan lapar.
Harga.

Painan, November 2008

Sajak Kepada Tubuh

Kepada tubuh, rajin-rajinlah menulis sajak,
agar tak cepat berkarak, sebab rindu semakin lunak
dan setiap narasi berarak: menuju selatan
dimalam perjanjian.

Tidakkah tubuh sabar menenti: sajak-sajak sedang bermeditasi
Selama simbol-simbol rajin bernyanyi, ah nyali kemana kau pergi.

Tubuh dimalam perjanjian bersalaman, besaut-sautan melafazkan sajak.
Sajak menghitung jarak, laku kongnitif bantah-membantah.
Tubuh menggelinjang sekilas mengejang.
“inilah yang telah dijanjikan dan sesiapa melawan tak akan pulang dengan nyaman”

September 2009

Kota Senja

Apa yang bisa ku catatkan untukmu tentang sunset sore ini?
Sore di kotaku, yang waktu kau datang,
kau katakan “aku menemukan kota senja”
dan kau minta dicatatkan sesuatu tentang sore kita.

Namun,
Setiap kesempatan membentuk ruang waktu tersendiri,
walau singgah di halaman-halaman,
spasi mengajarkan pada kita betapa pentingnya berjarak yang memerdekakan.
Kita memilih untuk tidak saling terjajah.

Diwaktu sore membeku,
dan mentari terapung setengah,
saatnya kita berkata-kata, menyaksikan kejujuran dikerangkeng logika.
Yang tercatat: “paling mendebarkan dari hidup adalah perpisahan”

Painan, Juni 2006

-----

Penulis aktif di P-thon Comunitiy Painan dan Komunitas KANVAS dam Teater TAMAN Painan. Pendri Buletin KANVAS, tercatat sebagai pimpinan redaksi pertama beletin tersebut. Beberapa karya penulis (puisi, cerpen dan artikel-artikel sastra-kebudayaan, opini, catatan-catatan dunia mahasiswa) telah dipublikasikan pada Bali Post, koran-koran lokal Sumatera Barat, Padang Ekspres, Singgalang, Haluan, juga di Buletin-buletin Kampus dan Buletin-buletin Independen.

Salah satu karya penulis telah diterbitkan dalam buku Antologi Puisi Sumatera Barat “Dua Episode Pacar Merah”.

Sumber

Newer Post Older Post

Leave a Reply